Senin, 14 Desember 2009

Prosedur Pembentukan Tingkah Laku

Dalam operant conditioning, terdapat prosedur pembentukan tingkah laku sebagai berikut (Suryabrata, 2006):
  1. Dilakukan identifikasi mengenai hal apa yang merupakan reinforcer (hadiah) bagi tingkah laku yang akan dibentuk itu.
  2. Dilakukan analisis untuk mengidentifikasi komponen-komponen kecil yang membentuk tingkah laku yang dimaksud. Komponen-komponen itu lalu disusun dalam urutan yang tepat untuk menuju kepada terbentuknya tingkah laku yang dimaksud.
  3. Dengan mempergunakan secara urut komponen-komponen itu sebagai tujuan-tujuan sementara, mengidentifikasi reinforcer (hadiah) untuk masing-masing komponen itu.
  4. Melakukan pembentukan tingkah laku, dengan menggunakan urutan komponen-komponen yang telah tersusun itu. Kalau komponen pertama telah dilakukan maka hadiahnya diberikan; hal ini akan mengakibatkan komponen itu makin cenderung untuk sering dilakukan. Kalau ini sudah terbentuk, dilakukannya komponen kedua yang diberi hadiah (komponen pertama tidak lagi memerlukan hadiah); demikian berulang-ulang, sampai komponen kedua terbentuk. Setelah itu dilanjutkan dengan komponen ketiga, keempat, dan selanjutnya, sampai seluruh tingkah laku yang diharapkan terbentuk.

Seorang anak sangat menyukai gambar kartun Mickey Mouse, karenanya orang tua akan menjadikan barang-barang yang ada gambar kartun Mickey Mouse sebagai reinforcer. Komponen-komponen yang akan dibuat orang tua, yaitu komponen pertama anak harus bisa mempersiapkan buku-buku untuk sekolah pada malam harinya. Komponen kedua anak harus bisa bangun pagi untuk sekolah. Komponen ketiga anak tidak boleh sampai terlambat datang ke sekolah. Komponen yang keempat atau yang terakhir, anak harus rajin datang ke sekolah. Ketika anak sudah bisa untuk mempersiapkan buku-buku untuk sekolah, maka orang tua akan memberikan reinforcer. Berikutnya akan diteruskan dengan komponen kedua, dan memberikan reinforcer jika anak berhasil melakukan komponen kedua. Begitu seterusnya hingga akhirnya perilaku yang ingin dibentuk oleh orang tua, yaitu agar anak memiliki keinginan untuk ke sekolah akan muncul. Lama-kelamaan motivasi anak untuk pergi ke sekolah, yang awalnya adalah motivasi ekstrinsik akan berubah menjadi motif intrinsik. Jadi orang tua harus dapat meyakinkan anak banwa anak dapat melakukannya karena adanya usaha dan keinginan dari anak sendiri.

Nilai-nilai, hadiah-hadiah, dan rewards nyata lainnya digunakan karena rewards dan dorongan adalah bersifat eksternal untuk murid-murid, itu semua dikarakteristikkan sebagai motivasi eksternal. Untuk mengguanakan metode-metode ini, orang tua seharusnya selalu mencoba membuat murid-murid menterjemahkan alat eksternal yang sifatnya sementara ini menjadi motif intrinsik. Dengan cara membuat anak yakin bahwa anak berhasil pada beberapa level dan mampu melakukannya untuk mendorong usaha-usaha mereka (Elliott, Kratochwill, Littlefield, & Travers, 1999).

Elliott, S. N., Kratochwill, T. R., Littlefield, J., & Travers, J. F. (1999). Educational psychology: effective teaching, effective learning (2nd ed.). Singapore: McGraw-Hill.

Suryabrata, S. (2006). Psikologi pendidikan. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar